Ancaman kita di dunia pendidikan khususnya di Indonesia yang mengalami distorsi (anomali) dimana anak-anak menjadikan figur utama pendidikan bukan guru lagi tetapi gagdet. Gadget sudah diposisikan seperti Tuhan. Sejatinya guru sebagai salah satu sumber pelajaran namun belakangan sudah digantikan oleh smartphone.
Disatu sisi smartphone saat ini digunakan untuk kegiatan radikalisasi, provokasi-provasi yang mengarah pada ujaran kebencian. Oleh karena itu Muslimat NU memastikan untuk memiliki konten-konten kegiatan digital yang menebar kebajikan, keramahan, kedamaian, menngedepankan persatuan dan kesatuan, menebar kasih sayang dan menjadi pionir moderasi beragama dengan perspektif Muslimat NU. Saling membangun jejaring melalui konten-konten digital dengan konsep moderasi beragama, mengedepankan keadilan, kemanusiaan, nasionalisme, berkomitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan adaptatif terhadap kebudayaan lokal menjadi pilar moderasi yang diusung.
Selanjutnya menurut Prof.Dr.Sri Mulyati,MA dalam judul makalah Spiritualitas dan Toleransi Dalam Perspektif Agama Islam menurutnya komponen spiritual sebagai dua proses dimensi, yaitu proses internal dan proses eksternal. Bagaimana hubungan manusia secara horizontal dengan sesama manusia dan dirinya dan secara vertikal dengan Rab-Nya. Sebagai makhluk yang diciptakan Allah Swt manusia harus bisa mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah Swt dengan sebaik-baiknya sesuai ajaran agama masing-masing. Di dalam Islam kita mampu mewujudkan nilai sipiritulias ini sebagai pengembangan ruhani.
Dalam kaidah selain ibadah keimanan ‘ubudiyah kepada Allah Swt juga diajarkan beretika menyayangi diri sendiri, memberikan yang terbaik untuk diri sendiri. sifat harus berhusnudhon (berprasangka baik) kepada siapapun. Peringkat spiritualitas ‘ubudiyah, aqidah al akhlaqul karimah ketiganya harus seimbang, terimplementasikan baik dan ada hubungan dimensi vertikal dan horisontal dengan baik. Terkait toleransi, ada sikap subyektif dan obyektif. Kita harus bersikap adil dan jujur secara obyektif dalam agama masing-masing. Sebagai umat Islam dan di dalam AD/ART di seluruh lingkungan NU berdasarkan Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Annahdliyyah.
Secara obyektif bagaimana budaya,rasa dan bela negara, toleransi sebagai upaya semaksimal mungkin menumbuhkan rasa nasionalisme yang juga terlahir dalam Syubbanul Wathon yang diciptakan jauh sebelum Indonesia merdeka oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Toleransi secara obyektif dengan masyarakat plural telah tersampaikan.
Rasullullah Saw. juga telah memberikan contoh penjagaan melalui Piagam Madinah. Laa Ikraha Fid-Diin, tidak ada paksaan orang masuk agama Islam, sebagai orang Islam wajib menjaga syariah, sedangkan di luar agama Islam itu menjadi hak mereka untuk menentukan keyakinannya sendiri.
Menurut Prof. Sri Mulyati, selanjutnya menyebutkan 2 (dua) Fiqih yang termasuk fiqh toleransi yaitu pertama fiqih lingkungan dan fiqih disabilitas. Sedangkan prinsip toleransi itu sendiri ada dua yaitu “Laa Ikraaha Fid Diien”, setuju dengan adanya perbedaan, menghormati perbedaan budaya dan perbedaan suku, bahasa di Indoensia . Kedua, Kita semua harus memelihara agama, masing-masing kita menjaga, khususnya dalam Islam menjaga sampai khusnul khotimah
Selanjutnya ajaran Islam yang humanistis dalam dunia tasawuf sebagai cerminan dalam ajaran Islam itu adalah bahwa di Indonesia sebagai contoh display ruang ekspresi spiritual. Tasawuf dengan doktrin dan para championnya (para sufi) menawarkan contoh kongkrit pemahaman serta tindakan esoteris dan eksoteris Islam yang ramah, sejuk, dan toleran, terbuka dan merdeka.
@Azzah Zumrud