Demikian ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, Khofifah Indar Parawansa tentang sosok Aisyah Hamid Baidlowi. Perempuan kelahiran Jombang 6 Juni 1940 ini memang dikenal sebagai politikus ulung dan pegiat sosial yang sangat luar biasa jasanya khususnya bagi Muslimat NU.
Aisyah Hamid Baidlowi tercatat pernah menjabat sebagai sebagai Ketua Umum Muslimat NU periode 1995-2000. Rekam jejaknya di organisasi perempuan NU ini bisa dibilang luar biasa. Salah satu diantaranya adalah pada program pemberdayaan ekonomi. Aisyah mendorong angota Muslimat NU tidak menjadi konsumen saja tetapi juga harus produktif mencari penghasilan untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Program ini berhasil mendirikan 107 koperasi primer yang tersebar di seluruh kabupaaten/kota di Indonesia dan tiga Pusat Koperasi dan Induk Koperasi Annisa (Inkopan).
Tak hanya itu, di era Aisyah pula Muslimat NU merealisasikan pendirian Pusdiklat Muslimat NU di Pondok Cabe, Tangerang Selatan yang dulunya kala digagas oleh Hj. Asmah Sjachruni Ketua Umum Muslimat NU sebelumnya.
Aisyah Hamid Baidlowi dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Ibu Nyai Sholehah. Pada usia tiga tahun mengikuti ayahnya pindah ke Jakarta. Namun situasi politik kala itu mengembalikannya pulang ke Jombang. Pada tahun 1945, saat KH Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Agama, Aisyah kembali ke Jakarta.
Kala sang ayah wafat karena kecelakaan di Cimahi tahun 1953, membuat situasi tidak mudah bagi Aisyah. Sebagai putri tertua Aisyah sadar betul bahwa dirinya harus dapat berperan sebagai seorang ibu bagi keempat adiknya yaitu Salahuddin Wahid, Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid.
Kondisi demikian menjadi tempaan luar biasa sehingga Aisyah menjelma menjadi perempuan tangguh, disiplin, dan pengayom. Pendidikan dari sang ibu dan memahami kiprah luar biasa dari ayahnya, membuat Aisyah mempunyai bekal komplet dalam kehidupan yang lebih luas lagi.
Ia juga sadar akan kiprah kedua kakeknya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri untuk NU dan Indonesia. Di antara pesan para orang tuanya kepada Aisyah ialah agar selalu mencintai NU. Secara khusus, Aisyah mendapat pesan dari ibunya agar menjaga Muslimat NU. (Sri Mulyati dkk, 70 Tahun Muslimat NU: Kiprah dan Karya Perempuan NU, 2017).
Aisyah memulai kiprahnya sebagai Ketua Fatayat NU Wilayah DKI Jakarta (1959-1962) di usia 19 tahun. Walaupun memiliki trah ‘darah biru’ NU, ia tetap menjalani proses kaderisasi yang dimulai dari tingkat bawah. Baginya proses berjenjang di organisasi akan menempa seseorang menjadi lebih matang. Kemudian pada tahun 1962-1967 dipercaya sebagai Bendahara Fatayat NU di tingkat pusat. Pada periode yang sama Aisyah juga “nyambi” berkiprah di Muslimat NU di bidang sosial yang saat itu di bawah kepemimpinan Nyai Hj. Machmudah Mawardi.
Kiprahnya yang apik menjadikan Aisyah dipercaya sebagai Sekretaris II Pimpinan Pusat Muslimat NU. Pada Kongres Muslimat NU di Probolinggo tahun 1984, Aisyah diangkat menjadi Ketua III PP Muslimat NU. Lalu pada Kongres berikutnya tahun 1989 di Kaliurang, Yogyakarta, diangkat sebagai Ketua II PP Muslimat NU. Puncaknya, ketika Kongres Muslimat NU 1995 di Jakarta, Aisyah terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU melalui proses yang sangat demokratis. Saat itu ia harus bersaing dengan Nyai Hj. Machfudhoh Aly Ubaid yang tak lain adalah budenya sendiri.
Di bawah kepemimpinannya Muslimat NU bergerak menjadi organisasi perempuan yang mandiri, maju, dan modern. Tak salah kalau kemudian Aisyah ditunjuk sebagai Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Di bidang politik kiprah Aisyah tak kalah moncer. Tercatat pernah sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI selama tiga periode 1997-2009. Ia termasuk perempuan yang membidani lahirnya Undang-Undang Perhajian Nomor 17 tahun 1999.
Atas kiprahnya itu berbagai penghargaan diterima Aisyah diantaranya dari Yayasan Asma Indonesia (1990), Manggala Karya Kencana Kelas I dari Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN (1997), Honorary Award of the Realization of World Peace and the Promotion of Education and Culture dari Soka University, Tokyo (2001). Pada 8 Maret 2018 Aisyah wafat dan dimakamkan di komplek pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.