muslimatnu.or.id. Emosi marah yang menguasai diri seseorang bisa membuat macet kemampuan berpikrinya yang sehat. Kadang-kadang ia melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang memusuhi, yang disesalinya setelah kemarahannya reda.
Dalam ayat-ayat yang mengemukakan kemarahan Nabi Musa AS, kita lihat bahwa Nabi Musa melemparkah luh-luh, memegang kepala dan menarik jenggot saudaranya yaitu Nabi Harun, dengan penuh kemarahan.
Manusia ketika marah atau sedang dikuasai oleh emosi yang kuat pada umumnya kehilangan kemampuan untuk berpikir secara sehat
Tapi ketika marahnya reda dan ia tahu bahwa Nabi Harun telah berusaha mencegah perbuatan kaumnya yang sesat itu, namun oleh kaumnya dianggap ringan dan hampir membunuh Nabi Harun, Nabi Musa pun memohon ampun kepada Allah atas apa yang ia perbuat kepada saudaranya sebelum ia mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
(Qs. Al-A’raf : 157)
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِاَخِيْ وَاَدْخِلْنَا فِيْ رَحْمَتِكَ ۖوَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ࣖ
Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang dari semua penyayang.”
Oleh karena manusia ketika marah atau sedang dikuasai oleh emosi yang kuat pada umumnya kehilangan kemampuan untuk berpikir secara sehat, maka hendaknya pada waktu marah ia tidak melakukan tindakan-tindakan yang mungkin akan disesalinya nanti. Ia juga harus belajar bagaimana mengendalikan kemarahannya.
Dari sini tampak jelas hikmah yang terkandung dalam pesan Allah SWT kepada manusia agar bisa menguasai dan mengendalikan kemarahan.
Sumber :
Najati, M Utsman. Al-Qur’an Dan Ilmu Jiwa. 1997. Bandung : Penerbit Pustaka.