Dalam khazanah pendidikan Islam, peran perempuan sering kali terpinggirkan dalam wacana arus utama. Namun sejarah mencatat bahwa para ibu nyai di lingkungan pesantren memiliki kontribusi besar dalam mendidik generasi muslimah, membangun karakter, dan mengawal tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Salah satu tokoh perempuan penting dalam konteks ini adalah Ibu Nyai Machfudhoh Aly Ubaid, putri dari ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdul Wahab Chasbullah. Beliau bukan hanya penerus darah ulama, tetapi juga pewaris visi keilmuan dan spiritualitas dalam pendidikan yang sangat mendalam, terutama melalui pendekatan riyadhoh atau latihan spiritual.
Ibu Nyai Hj. Machfudhoh Wahab Hasbullah bukan hanya seorang putri dari tokoh besar bangsa, tapi juga merupakan ulama perempuan dan politikus yang sangat disegani. Sejak tahun 1994, beliau menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah 1 Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.
Pada tahun 2022, Ibu Nyai Hj. Machfudhoh Wahab Hasbullah bersama dua ulama perempuan lainnya diangkat sebagai Mustasyar PBNU, menjadikan beliau Mustasyar perempuan pertama dalam sejarah kepengurusan Nahdlatul Ulama.
Dalam konteks pesantren, riyadhoh berarti latihan-latihan ruhani dan amaliyah ibadah yang dilakukan secara konsisten sebagai bentuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Bagi Ibu Nyai Machfudhoh, pendekatan riyadhoh bukan sekadar pelengkap dalam proses pendidikan, melainkan fondasi utama pembentukan karakter santri. Ia meyakini bahwa ilmu yang bermanfaat tidak hanya datang dari hafalan dan logika, tetapi juga dari jiwa yang bersih dan hati yang ikhlas dalam mencari ilmu. Oleh karena itu, pendidikan yang ia bina di berbagai pesantren tempat beliau berkhidmah selalu menekankan dimensi batiniah selain aspek kognitif.
Amalan-amalan seperti membaca wirid harian, dzikir, shalat malam, dan salat sunat hajat 100 raka’at menjadi bagian dari metode dan kurikulum tersembunyi yang beliau tanamkan. Hal ini sejalan dengan pendekatan pendidikan akhlaq dalam Islam klasik, yang menempatkan pembentukan karakter sebagai pilar utama. Riyadhoh dalam konteks ini juga menjadi alat untuk membangun kemandirian spiritual bagi santriwati khususnya, agar kelak mereka mampu menjadi ulama, pendidik, dan pemimpin masyarakat dengan kepekaan batin dan integritas moral yang tinggi.
Ibu Nyai Machfudhoh juga dikenal sebagai pendidik dan pemimpin perempuan yang memiliki visi jauh ke depan. Ia aktif dalam berbagai komunitas perempuan dan menjadi rujukan, menjadi “jimat” di organisasi perempuan terbesar Muslimat NU, baik dalam komunitas perempuan Muslimat NU, alumni pesantren yang diasuh beliau dan utamanya dalam pengembangan pesantren putri yang beliau masih aktif membina dan membimbing langsung. Gaya kepemimpinannya sangat kuat namun bersahaja, mencerminkan hasil dari pembinaan spiritual dan riyadhoh yang konsisten. Banyak santriwati dan alumni yang kemudian menjadi pengasuh pesantren, guru, guru besar dan aktivis dakwah karena bimbingan langsung dari beliau.
Pendekatan ini juga mencerminkan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah Annahdliyyah yang kuat dalam pesantren dan di Muslimat NU, di mana keberkahan ilmu tidak hanya diukur dari isi kitab yang dipelajari, tetapi juga dari adab kepada guru, keberlanjutan sanad keilmuan, dan kesiapan ruhani untuk menerima ilmu. Dalam kerangka ini, Ibu Nyai Machfudhoh adalah penghubung antara generasi pendiri pesantren dengan santri-santri perempuan masa kini.
Di tengah arus globalisasi yang mengedepankan rasionalisme dan teknokrasi, pendekatan riyadhoh yang dikembangkan Ibu Nyai Machfudhoh menjadi alternatif penting dalam pendidikan karakter. Beliau menegaskan bahwa perempuan muslimah tidak hanya perlu cerdas secara intelektual, tetapi juga harus matang secara spiritual. Hal ini memberi kontribusi besar terhadap terbentuknya generasi perempuan Islam yang tidak inferior, yang berani menyuarakan pandangan dan mengambil peran aktif di tempat-tempat strategis dalam masyarakat, namun tetap bersandar pada nilai-nilai Islam yang otentik.
Di samping itu, sebagai tokoh perempuan dalam lingkungan pesantren dan di Muslimat NU, beliau menjadi jembatan antara tradisi dan pembaruan. Pendekatan riyadhoh yang ia tekankan secara istiqomah telah mampu menumbuhkan kesadaran bahwa pendidikan spiritual bukanlah sesuatu yang kolot atau tertinggal, melainkan justru menjadi landasan penting bagi kemajuan umat.
Ibu Nyai Machfudhoh Aly Ubaid adalah simbol keteguhan, kecerdasan, dan keikhlasan dalam mengemban amanat pendidikan dan dakwah Islam perempuan, dan sangat konsen dalam isu kebangsaan ,focus dan fanatik pada keutuhan dan menjaga NKRI, tepat untuk menjadi tokoh bangsa. Dengan pendekatan riyadhoh sebagai metodologi, beliau telah melahirkan banyak santri dan tokoh perempuan yang berakhlak mulia dan cakap dalam menjawab tantangan zaman.
“Setiap saya ceramah beliau menatap lembut dan kadang beliau meneteskan air mata. Saya menangkap pesan dan doa mendalam tentang arti sebuah misi perjuangan”, tutur,pesan tertulis Ary Ginanjar founder ESQ yang didapuk menjadi narasumber dalam kegiatan capacity building yang diselenggarakan PP Muslimat NU di Samarinda, 11 Mei 2025.
“Terima kasih banyak Ibu Nyai atas doa dan restunya untuk kami, momen ini menjadi penyemangat bahwa perjuangan spiritual, agama dan kebangsaan harus terus diteruskan lintas generasi”, imbuh Ary Ginanjar. Doa yang beliau panjatkan diaminkan pula oleh para Ibu Nyai Muslimat NU yang hadir. Semoga Ibu Nyai senantiasa sehat dan terus menjadi cahaya dalam setiap langkah.
By: @Azzah Zumrud