Islam Moderat sering dibahas secara terpotong, terkait dengan politik atau pendapat fiqhiyah saja. Seperti jilbab dan cadar, jibab besar syar’i dan jilbab berjambul. Atau tema yang banyak dibicarakan terkait antara hubungan antara Islam dengan penganut agama lain, secara spesifik isu toleransi dan intoleransi dalam beragama , hal ini salahkah? Tentu tidak.
Adanya konsep agama dan manusia hubungan dan keterkaitan dengan pengarusutamaan moderasi beragama dalam ranah digital untuk menyuarakan narasi keagamaan yang moderat dan toleran, menjadi bahasan update yang mengejawantahkan praktek baik agama dan keberagaman dan keber-agamaan di Indonesia.
Secara simplistic, orang yang menentang Islam Moderat sering mengkampanyekan narasi : “Islam ya Islam saja, tidak ada Islam Moderat atau juga Islam Nusantara”.ini problem. Negara pluralis seperti di Indonesia membutuhkan komitmen bersama untuk menjaga dan merawat kesatuan dan persatuan bangsa dari berbagai corak perbedaan ras, suku, bahasa, warna kulit, budaya dan kebiasaan tetapi tetap dalam kebhinekaan, kebersamaan dan menjaga kesatuan dan persatuan warga negara di Indonesia.
M. Kholid Syeirazi tokoh ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama’) Pusat dalam buku karyamya Wasathiyah Islam menyatakan Keanekaragaman Indonesia meliputi agama, bahasa, suku, tradisi, adat budaya, dan warna kulit, keanekaragaman membutuhkan yakni bersikap adaptif, insklusif dan toleran menjadi kekuatan sosial yang indah apabila saling bekerjasama dan bersinergi untuk membangun tanah air. Kondisi dan situasi di mana terjadi kekerasan belakangan ini mengalami eskalasi secara diametral seolah bertolak belakang bila melihat peristiwa di Indonesia akhir-akhir ini. Keberagaman sedikit terganggu dengan munculnya paham- paham ektrimisme dan radikalisme yang berusaha menghapus keragaman di Indonesia.
Radikalisme adalah berarti paham yang berkeinginan melakukan perubahan atau pembaharuan melaui cara kekerasan dan revolusioner (Lubis and Siregar, 2020). Radikal merupakan sebuah keyakinan dan tidak memberikan sikap toleransi bagi kelompok yang bertentangan dengan mereka melalui sikap ekstrim (Pahlevi Hidayat and Hamzah Lubis, 2021).
Aksi terorisme dalam skala nasional telah terjadi seperti bom Bali tahun 2002, adanya gerakan aceh merdeka yang berusaha memisahkan diri dari NKRI, baku tembak dan ledakan bom tahun 2016 antar polisi dan terois yang terjadi di kawasan MH Thamrin Jakarta. Tahun 2015 di Aceh terjadi pembakaran gereja, kasus-kasus bom bunuh diri di halaman Mapolresta Solo dan ledakan bom Molotov di depan gereja tahun 2016 di kota Samarinda, bahkan konflik agama tahun 1999 yang juga diiringi dengan pembantaian terjadi di Ambon. Maraknya gerakan-gerakan yang dilakukan oleh ormas Islam tanpa kompromi apabila ada yang bertentangan dengan kelompoknya dan cenderung menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuan.
Sikap dan paham ekstrimisme dan radikalisme juga merambah pada dunia pendidikan. Berdasarkan temuan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada tahun 2010 di Provinsi Jakarta sebanyak 48,9% siswa Jabodetabek terlibat pada aksi radikalisme (Arifin and Rizal, 2017). Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menginformasikan beberapa pondok pesantren mengajarkan radikalisme dan berpotensi santrinya menjadi terorisme. Tentu hal ini sangat menggelitik dan harus terus dikawal.
Muslimat NU dengan gerakan sosial dan dakwah damai terus berupaya dengan pihak pihak terkait untuk menjaga dan ikut andil terhadap persoalan bangsa. Usaha lahiriyah mekanisme cultur budaya dan relasi sosial menjaga kebersamaan dan perdamaian diimbangi dengan ihtiar batin doa yang terus dikuatkan dimensi ke-Tuhanan dan transeden ilahiyah dibangun, disinilah Muslimat NU yang anggotanya terbesar dari kaum perempuan berkiprah lahiriyah dan batiniah juga doa langitan sebagai gerakan doa kebangsaan. Allah A’lam
By : Azzah Zumrud Muallif