Dalam pergumulan jiwa kita sehari-hari – diakui atau tidak – seringkali terjadi perselingkuhan spiritual. Yang paling sederhana dari perselingkuhan itu ketika kita sedang menutupi jiwa kita dari pandangan Allah, kemudian kita bersembunyi dari Allah, berakhir dengan tindakan kita melanggar aturan Allah.
Begitu kita langgar “janji cinta” antara kita dengan Allah, Kemahacemburuan Allah telah mengoyak jiwa kita. Tanpa kita sadari sudah begitu lama kita berpaling dari Allah. Bahkan Allah hanya kita jadikan alibi sehari-hari, kita jadikan alasan-alasan kegagaln, kalau perlu Nama Allah kita jualbelikan dalam pasar kebudayaan dan politik atau kepentingan nafsu lainnya.
Lalu, Allah kita bikin tarik ulur dalam qalbu kita. Terkadang Allah begitu jauh, terkadang begitu dekat, terkadang hadir, terkadang hilang, terkadang pula kita hempaskan ke hamparan hawa nafsu kita. Seakan-akan kita memiliki kekuasaan untuk mengatur segalanya, bahkan termasuk mengatur Allah dalam gerak gerik jiwa kita, khayalan dan persepsi kita. Bahkan Nama Allah sering kita sebut hanya untuk diketahui publik bahwa kita akrab dengan Allah, kita ahli dzikir, kita sering munajat kepada Allah. Padahal hanya kebusukan jiwa kita yang mendorong demikian. Seperti seseorang yang berteriak, “Saya lakukan ini Lillahi Ta’ala….! Saya ikhlas lho..ini demi Allah!”. Sadar atau tidak ia menikmati riya’ jiwanya agar disebut sebagai orang yang ikhlas. Dan inilah yang memang dimaui masyarakat syetan. Perselingkuhan hebat.
Sumber :
Majalah Cahaya Sufi. 2013. Edisi 85.