Depok-KH. Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA menyampaikan materi hukum terkait praktek khitan Perempuan di Indonesia, dalam acara Workshop Sinergi Bagi Organisasi Keagamaan Muslimat NU dalam rangka Pencegahan Sunat Perempuan. Yang diadakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) acara ini memasuki hari kedua, Kamis (27/02) di The Margo Hotel Kota Depok.
Dalam kajian keislaman Hadis yang berkaitan mengenai khitan adalah wajib dan umum, namun kemudian terdapat riwayat dalam sunah-sunah fitrah:
عَن أبيِ هُرَيرة رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ” الفطرة خمس: الْخِتَانُ، والاستِحْدَادُ، وَقَصُ الشَّارب، وَتَقلِيمُ الأظَافِرِ، وَنَتْف الإبْطِ “.
“Dari Abu Hurairah RA berkata: Aku mendengar Rasululloh Saw bersabda: “Fithrah itu ada lima: Khitan, memotong bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak” (HR Bukhari dan Muslim)
Juga hadis dari ‘Aisyah RA, Rasullallah Saw bersabda:
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
“Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.” (HR. Muslim no. 261, Abu Daud no. 52, At Tirmidzi no. 2906, An Nasai 8/152, Ibnu Majah no. 293)
Ulama berbeda pendapat mengenai hadis-hadis tersebut karena terdapat kriteria yang hanya dimiliki oleh laki-laki, seperti memotong kumis, memelihara jenggot. Sehingga hal ini dijadikan pijakan hukum bahwa khitan hanya untuk laki-laki, namun ada juga yang menafsirkan hadis tersebut bersifat umum kepada laki-laki dan perempuan sebagaimana riwayat lain yang membolehkan khitan perempuan.
Menurut sebagian ulama tidak ada dalil secara tegas yang menunjukkan kewajibannya, juga karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya sholat. Sedangkan khitan bagi wanita tujuannya untuk mengecilkan syahwatnya, jadi ia hanya untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban.
Menurut KH A. Lutfi Fathullah pembuktian adanya kebiasaan khitan perempuan di zaman Rasullallah Saw agak sulit, bahkan tidak atau belum ditemukan teks secara tegas menunjukkan perempuan dikhitan di zaman rasul kecuali hadis tentang Ummu Atiyyah. Berbeda dengan laki-laki yang ditemukan riwayat Rasullallah mengkhitan cucu laki-laki beliau Sayyid Hasan dan Husein, namun tidak ada riwayat Rasulllallah Saw mengkhitan cucu perempuan beliau. Jadi dapat disimpulkan bahwa cucu laki-laki dikhitan sedangkan perempuan tidak, tapi rasul tidak melarang hal tersebut asal tidak berlebihan, dan indikator atau kriteria berlebihan itu sendiri kalau secara faktual sekarang kita pasrahkan kepada dokter dan tim ahli medis.
Sedangkan dalam hukum fiqh lama Ulama berbeda pendapat menganainya Ulama Mazhab Hanafi mewajibkan Sunat bagi laki-laki dan bagi perempuan makrumah (baik), Mazhab Maliki Sunat bagi laki-laki sunah sedangkan perempuan makrumah, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hambali sepakat mewajibkan Sunat baik bagi laki-laki maupun perempuan, sedangkan sebagian ulama Mazhab Syafi’I menghukumi sunat bagi peremuan Makrumah.
Ibn Hajar al-Asqolany tidak mewajibkan sunat perempuan berdasarkan ijtihad beliau meski bermazhab Syafi’I, juga ulama-ulama kontemporer yang moderat seperti Dr. Yusuf Qardawy juga Syekh Wahbah az-Zuhaily membolehkan praktik khitan perempuan asalkan tidak berlebihan dan menyalahi aturan.
Dalam tradisi masyarkat di Indonesia praktik sunat perempuan seringkali dikaitkan dengan mitos, seperti di daerah Padang dan Banten yang menyakini bahwa Khitan Perempuan dilakukan agar menurunkan nafsu birahi (biar tidak nakal), sedangkan di daerah Bandung justru menyakini bahwa dengan dikhitan itulah dapat meningkatkan birahi, bahkan praktik ini sering dilakukan oleh pasangan yang baru menikah. Meski tidak ada bukti empiris mengenai hal tersebut namun mayoritas di Indonesia memang melakukan khitan perempuan karena kebanyakan bermazhab Syafi’I.
PP Muslimat NU sendiri sangat antusias mendukung sosialisai dan edukasi mengenai khitan perempuan agar tidak terjadi kesalahan praktik yang dapat menimbulkan bahaya-bahaya bagi perempuan itu sendiri. (Aad)