muslimatnu.or.id. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat religius dan sekaligus majemuk. Meskipun bukan negara berdasar agama tertentu, masyarakat kita sangat lekat dengan kehidupan beragama. Hampir tidak ada satu pun urusan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan agama. Itu mengapa, kemerdekaan beragama juga dijamin oleh konstitusi kita. Karenanya menjaga keseimbangan kebebasan beragama dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air, sudah menjadi keniscayaan di tengah keberagaman ini.
Bermacam-macam paham umat beragama di Indonesia memang amat tak terperi. Nyaris tak mungkin alias mustahil kita bisa menyatukan cara pandang keagamaan umat beragama di Indonesia. Sementara, keragaman klaim kebenaran atas tafsir agama, bisa memunculkan gesekan dan konflik.
Menyikapi dengan bijak bagian dari kebebasan ekspresi beragama merupakan suatu keniscayaan. Tapi, membiarkan tanpa kendali keragaman pandangan yang ekstrem, juga bisa membahayakan persatuan dan kesatuan, apalagi ihwal agama adalah hal yang teramat sensitif untuk disepelekan. Karenanya solusi beragama jalan tengah, yang disebut “moderasi beragama” yang paling tepat untuk diimplementasikan.
Adapun cara pandang, sikap, dan praktik yang dianggap ekstrem dapat terlihat dalam tiga ciri. Pertama, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan, karena agama kan diturunkan untuk memuliakan manusia.
Kedua, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan.
Dan ketiga, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang kemudian melanggar hukum. Jadi, orang yang atas nama menjalankan ajaran agamanya tapi melanggar ketiga batasan ini, bisa disebut ekstrem dan melebihi batas
Ghiroh moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, kan ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, lalu menganggap sesat mereka yang memiliki tafsir yang berbeda dengannya. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya atas nama toleransi kepada pemeluk agama lain. Kedua sikap ekstrem ini perlu dimoderasi.
Moderasi beragama adalah tanggungjawab bersama. Moderasi beragama tidak mungkin berhasil menciptakan kerukunan kalau hanya dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu saja. Kita perlu bekerjasama dan saling bergandengan tangan, mulai dari masyarakat luas, pegiat pendidikan, ormas keagamaan, media, para politisi, dunia birokrasi, dan aparatur sipil negara.
Dalam literatur disebutkan bahwa moderasi (moderation) berarti tidak berlebihan, sedang, tidak kurang, atau imbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi berarti pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama; moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.
Moderasi dalam Bahasa Arab disebut sebagai wasat atau wasatiyah yang berarti tengah-tengah, adil (I’tidal), dan berimbang (tawazun). Individu atau kelompok sosial yang menengahi perkara disebut wasit. Lawan kata (anonym) moderasi (wasatiyah) dalam perbendaharaan Arab atau barat yaitu ekstremisme (al-guluw), fundamentalisme, hard liners (aliran keras), militanisme, radikalisme, dan puncaknya adalah terorisme. Pemahaman tentang ekstrem dalam padanan Bahasa Indonesia yang dihimpun dalam padanan agama bisa berarti berlebihan dan melampaui ketentuan agama. Nah, praktik condong pada menihilkan yang lain adalah praktik kontraproduktif untuk tumbuhnya disharmoni dalam kemajemukan.
Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.
Moderasi beragama itu sesungguhnya adalah jati diri kita sendiri, jati diri bangsa Indonesia. Kita adalah negeri yang sangat agamis, umat beragama kita amat santun, toleran, dan terbiasa bergaul dengan berbagai latar keragaman etnis, suku, dan budaya. Toleransi ini pekerjaan bersama kita sebagai bangsa Indonesia, karena kalau intoleransi dan ekstremisme dibiarkan tumbuh berkembang, cepat atau lambat keduanya akan merusak sendi ke-Indonesia-an kita. Menunjukkan moderasi beragama sangat penting dijadikan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku, dalam beragama dan bernegara.
Karena sejak awal secara natural dalam Islam pun telah dinyatakan bahwa “lakum dii nukum waliyadin.” Praktiknya membutuhkan respons moderat terhadap bermacam-macam identitas agama dan kemajemukan kultur bangsa. Penafsiran seseorang yang menihilkan pandangan cara beragama orang lain dapat menciptakan disharmoni, Karenanya dibutuhkan keteladanan dan model untuk mengurai kompleksitas dalam keberagamaan yang beragam di Indonesia.
Perekat antara semangat beragama dengan komitmen berbangsa dan bernegara diimplementasikan dalam moderasi beragama. Bagi kita bangsa Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah ber Indonesia demikianpula ber Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama.
Moderasi beragama harus kita jadikan sebagai sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang rukun, harmonis, damai, toleran, serta taat konstitusi, sehingga kita bisa benar-benar menggapai cita-cita bersama menuju Indonesia maju. Untuk itu, melalui moderasi beragama, mari kita jaga persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia ini, yang telah diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, termasuk oleh tokoh dan umat beragama, para pahlawan kita.
*Etika Nailur Rahma (ENR)