Agama merupakan kekuatan paling dahsyat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia. Nilai-nilai dan ajaran agama menjadi komitmen yang memengaruhi setiap individu bahkan sekelompok orang untuk tunduk dan patuh pada suatu tujuan yang besar. Komitmen pada agama juga sering menggerakkan penganutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi yang sempit demi mencapai tujuan besar yang tertuang dalam teks-teks suci agama. Tujuan yang paling mendasar dari setiap agama adalah mengajarkan sekaligus mengajak penganutnya untuk melakukan kebaikan.
Cinta kasih, kedamaian, tolong-menolong, dan penghargaan pada kemanusiaan adalah sedikit dari sekian banyak isu-isu kebaikan yang diajarkan secara mendasar dalam setiap ajaran agama. Pesan mendasar dari setiap agama adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak mengherankan jika sejarah mencatat sekian banyak perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia dilakukan dengan mengatasnamakan dirinya sebagai seorang penganut agama atau melakukannya atas nama agama. Islam adalah agama yang mengajarkan prinsip kedamaian dalam ajarannya.
Sesuai dengan namanya, Islam berasal dari akar kata aslama- yuslimu-islāman yang berarti “memberi kedamaian”. Dari akar kata ini, memberi kesan perlunya sikap aktif untuk memberi dan menyebarkan kedamaian. Sejumlah ajaran agama menunjukkan bahwa setiap individu harus mampu memberikan kedamaian bagi lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ajaran tentang hak seorang muslim atas muslim lainnya untuk menebarkan salam (afsyus salām); perlunya memperlakukan tetangga dengan baik tanpa memandang suku, agama dan ras; perlunya tolong-menolong dalam kebaikan; saling mengasihi satu sama lain, adalah di antara sekian banyak ajaran Islam yang mengajarkan tentang kedamaian dan perilaku baik antar sesama manusia (kemanusiaan).
Nilai-nilai ajaran inilah yang menjadi ruh beragama dalam Islam, bahkan pada saat tertentu, ajaran tentang perilaku baik terhadap manusia (kemanusiaan) didahulukan daripada memenuhi prinsip ketaatan secara sempurna kepada Tuhan.Misalnya, jika berada dalam perjalanan, seseorang boleh melakukan shalat jama’-qashr (QS. An-Nisā: 101), ketika tidak ada air untuk berwudhu atau dalam keadaan sakit boleh diganti dengan bertayammum (QS. Al-Māidah/6); bila dalam keadaan darurat dan tidak ada makanan tersisa kecuali yang haram, maka yang haram itu boleh dimakan secukupnya untuk mempertahankan hidup (QS. Al-Baqarah: 173; QS. Al-An’ām: 145). Kesemuanya itu menunjukkan bahwa menjaga kehidupan manusia atau kemaslahatan makhluk terkadang harus didahulukan daripada ketaatan mutlak kepada Tuhan. Dan itu adalah perintah Tuhan. Inilah nilai rahmatan lil ‘alamin yang menjadi intisari ajaran Islam. Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai rahmat dengan membawa risalah Islam bagi seluruh alam semesta. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiyā: 107).
Sayangnya, sejarah kelam kemanusiaan justru banyak terjadi karena alasan-alasan atas nama agama. Pembunuhan, perang, penistaan kemanusiaan atau sejumlah perilaku buruk sering dikaitkan secara langsung ataupun tidak langsung dengan agama. Dengan dalih membela atau mempertahankan kemurnian dari keyakinan agamanya, atau demi menegakkan ajaran agama, para penganut agama mengabaikan nilai-nilai dasar kebaikan yang justru tertuang jelas dalam ajaran agama tersebut.
Perilaku kekerasan atas nama agama berakar pada paham radikal atau radikalisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “radikalisme” berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Radikalisme dalam agama berarti suatu cara pandang beragama yang menginginkan perubahan secara drastis dari cara beragama yang dianut secara umum oleh masyarakat disertai dengan perilaku kekerasan. Ia berusaha merubah tatanan nilai beragama yang ada dengan tatanan nilai yang dianutnya dan dianggapnya sebagai yang paling benar. Radikalisme agama adalah bentuk nyata dari cara pandang beragama yang mengabaikan prinsip cinta kasih, kedamaian, dan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dalam beragama.
Radikalisme muncul karena pemahaman agama yang sempit ditambah lagi dengan sikap berlebihan dalam mempertahankan nilai dan ajaran yang dianutnya. Ciri-ciri kelompok radikal cenderung menganggap kelompoknya atau pahamnya sebagai kelompok dan paham yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain yang berbeda atau berseberangan dengan pahamnya. Bahkan tidak segan-segan menuduh kelompok lain sebagai “kafir” atau “thagut”. Ciri lain yang menandai kelompok radikal adalah cara beragama yang kaku dan sempit, biasanya disebabkan karena pemahaman terhadap dalil Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw yang sempit dan tekstual. Tidak jarang pula mereka melakukan kekerasan kepada kelompok lain sembari meneriakkan kalimatkalimat pujian atas nama Tuhan atau meneriakkan kalimat takbir Allahu Akbar; seakan-akan kekerasan itu direstui dan disetujui oleh agama, bahkan oleh Tuhan.
Manakala kebenaran sudah menuntut pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, maka kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama muncul dengan mudah. Kecenderungan itu merupakan tanda-tanda awal kejahatan atas nama agama. Yang mengkhawatirkan apabila radikalisme meningkat menjadi perilaku — bukan lagi sekedar pemahaman — maka ia akan berubah menjadi destruktif (merusak); dan ketika perilaku destruktif itu diberikan pembenaran atas nama agama, maka ia berubah menjadi terorisme. Tidak diragukan bahwa terorisme adalah bentuk kejahatan atas nama agama. Akibat yang ditimbulkan oleh terorisme ini sangat serius. Terbukti, korban yang ditimbulkan oleh pelaku terorisme atau kekerasan dan kebencian atas nama agama melampaui batas, batas akal sehat dan geografis. Berapa banyak nyawa yang melayang, padahal dalam agama secara tegas dikatakan bahwa membunuh satu nyawa dengan sengaja sama dengan membunuh seluruh manusia atau membunuh kemanusiaan, sebaliknya memberikan kehidupan kepada satu manusia sama dengan memberi kehidupan kepada seluruh umat manusia. “Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia” (QS. Al-Maidah: 32).
Rangkaian aksi bom bunuh diri yang pernah terjadi di Indonesia, mulai dari Bom Bali yang dilaksanakan secara terorganisir hingga penyerangan lone wolf (aksi tunggal) yang terjadi di Mabes Polri yang dilakukan oleh ZA pada tanggal 31 Maret 2021 menunjukkan bahwa aksi teror ini mengalami pola gerakan yang terus berubah. Apapun bentuk dan caranya, terorisme ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Diyakini bahwa masih ada orang-orang seperti ZA yang berpikiran sama dan berkeyakinan bahwa tindakan teror itu adalah jihad yang suci.
Maka berbicara agama seperti berbicara sesuatu yang berwajah ganda. Satu sisi, agama mengajarkan kebaikan, keselamatan dan kedamaian, serta mengajak penganutnya untuk mencapai kebaikan tertinggi di hadapan Tuhan; tetapi pada saat yang sama, agama juga sering ditampilkan oleh penganutnya sebagai sumber bencana dan kebencian.
Tentu saja, ini adalah pilihan bagi kita apakah ingin menampilkan agama sebagai agama yang damai atau ingin menampilkan agama yang keras dan menakutkan. Sejatinya, setiap penganut agama yang baik, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah seharusnya mengikuti contoh teladan dari Nabi saw. Beliau senantiasa menyampaikan ajaran agama dengan cara yang lembut dan penuh cinta, jauh dari cara-cara kekerasan apalagi dengan melakukan tindakan terorisme. Dakwah yang damai ini ditegaskan oleh Allah di dalam QS. Ali Imran: 159: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal”.
@Azzah Zumrud (A-Zhoem)