muslimatnu.or.id. Dalam beberapa tahun terakhir istilah islam washatiyah menjadi populer. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam wasathiyah ? Dikenalnya istilah Islam wastahiyah memang tidak terlepas maraknya intoleransi yang ada sekarang ini.
Dilihat dari kata wasathiyah yang berasal dari akar kata “wasatha” mempunyai beragam pengertian. Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Sedangkan menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau مَرْكَزُ الدَّائِرَةِ, Kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani yang merupakan pertengahan di antara dua ujung. Dapat dkatakan bahwa sifat berani berada di antara dua sifat yang tidak terpuji, antara sifat pengecut dan sifat ceroboh. Di dalam sifat pengecut, hilang keberanian untuk menghadapi tantangan, padahal Islam mengajarkan umatnya untuk selalu optimis dalam memandang masa depan.
Sedangkan di dalam sifat ceroboh, ada ketergesa-gesaan, gegabah, kurang perhitungan, bahkan mengikuti hawa nafsu sehingga dapat menghalanginya dari keselamatan, tidak jarang mencelakakan dirinya dan orang lain, serta melemparkannya ke dalam golongan orang-orang zalim dan fasik. Di dalam sifat berani, di tengah antara keduanya, ada optimisme, ada kemampuan mengendalikan diri, dan ada perhitungan serta rencana.
Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan makna seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan.
Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan seimbang.
Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan” yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah). Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah). Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan (taghayyur).
Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi. Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal tersebut diletakkan dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara theocentris (hablun minallah) dan anthropocentris (hablun min al-nas).
Salah satu ciri dari Islam adalah wasathiyah, yang menurut bahasa Indonesia artinya adalah moderasi. Menurut Afifuddin Muhadjir, makna wasathiyah sebetulnya lebih luas dari pada moderasi. Wasathiyah bisa berarti realistis (Islam Wasathiyah yaitu Islam yang berada di antara realitas dan idealitas). Yakni, Islam memiliki cita-cita yang tinggi dan ideal untuk menyejahterakan umat di dunia dan akhirat. Cita-citanya yang melangit, tapi ketika di hadapkan pada realitas, maka bersedia untuk turun ke bawah.
Dalam laman nu.or.id disebutkan bahwa ada 10 praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah yaitu:
(1) Tawassuth (mengambil jalan tengah) yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama)
(2) Tawazun (berkeseimbangan) yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan)
(3) I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional
(4) Tasamuh (toleransi) yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya
(5) Musawah (egaliter) yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan atau agama, tradisi dan asal usul seseorang
(6) Syura (musyawarah) yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya
(7) Ishlah (reformasi) yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (merawat tradisi merespon moderenisasi)
(8) Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas) yaitu kemampuan mengidentifikasi hal-ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah
(9) Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif) yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia
(10) Tahadhdhur (berkeadaban) yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
Inilah Islam washatiyah sebagai Islam yang sejatinya telah dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sejak dulu.
***